Ada tulisan dari seorang influencer yang mengajak unsubcribe Atta Halilintar karena dianggap terlalu mengekspos kekayaannya. Hal ini ditengarai bisa berpengaruh bagi pembentukan karakter para pelajar. Perlu diketahui, mayoritas subcriber Atta adalah para anak yang baru gede alias menginjak remaja. Ada juga video Ade Armando yang mengingatkan Atta dan kawan-kawan agar tidak memamerkan hartanya di media sosial. Konten-konten mereka dinilai tidak berperasaan di tengah keadaan Indonesia yang masih banyak jumlah warga miskinnya.
Kejadian ini mengingatkan saya pada peristiwa sekitar sepuluh tahun lalu. Waktu itu, saya sedang menunggu suami yang akan datang dari luar kota. Agar tidak mengantuk, saya menonton televisi. Bisa berabe kalau saat suami tiba saya ketiduran. Bukan takut kena marah, tetapi Pak Suami akan tidur di kendaraan bila tahu istrinya sudah tidur. Baginya pantang membangunkan saya.
Malam itu, acara automotifnya membahas tentang mobil para offroader. Mobil bagus-bagus dipreteli, diberi berbagai kelengkapan agar bisa digunakan di medan sulit. Bukan sembarang mobil lho. Mobil mahal dipasangi ban segede gaban lalu di pakai di jalan yang sulit. Bahkan yang dilewati bukan jalan seperti layaknya yang kita lewati.
Saudara suami ada yang pecinta otomotif. Sedikit-sedikit tahulah harga sparepart mobil. Dan yang dipakai para offroader itu harganya pasti sangat mahal. Mobil mereka bukan sembarang mobil. Diperlukan mesin yang ekstra power untuk melalui medan berat. Sayangnya, mobil jenis ini tidak ada yang murah.
Setelah mobil dimodifikasi, para offroader mencobanya di berbagai medan dengan bermacam tingkat kesulitan. Tak jarang mobil-mobil itu jungkir balik karena beratnya jalur yang dilalui. Tentu saja sangat membahayakan pengemudinya.
Saya geleng-geleng kepala menontonnya. “Kurang kerjaan”, batin saya saat itu. “Menghambur-hamburkan uang untuk hobby yang membahayakan nyawa dan tidak jelas manfaatnya.”
Saya membayangkan, andai satu saja ban mobil setinggi manusia dewasa itu dijual dan dibelikan beras, kemudian disumbangkan ke panti asuhan. Pasti bisa dimakan anak sepanti asuhan selama sebulan lebih. Lha kalau empat? Bisa dikalikan jadi berapa lama itu?
“Ya Allah, kenapa Engkau beri rizki berlebih kepada orang-orang yang hanya akan dihambur-hamburkan?” gumam saya seakan protes kepada Tuhan.
Hingga suatu saat saya menonton acara berita. Ada bencana banjir bandang yang memporak-pondakan sebuah kawasan. Banjirnya berupa lumpur dengan membawa berbagai material, seperti batu dan kayu gelondongan. Akibatnya, rumah penduduk rusak, jembatan putus, jalan tidak bisa dilalui karena penuh lumpur. Jangankan mobil, helikopter tidak bisa mendarat untuk memberi bantuan. Padahal masyarakat yang terisolasi membutuhkan bahan makanan dan berbagai kebutuhan.
Subhanallah. La haula wala quwwata illa billah. Para offroader yang pernah kubilang kurang kerjaan itu berjibaku menerobos beratnya medan yang ada sambil membawa bantuan. Mereka tidak peduli berapa harga mobil yang digunakan. Komunitas offroader itu bersama menggalang bantuan dan terjun langsung ke lapangan bertaruh nyawa.
Sementara itu, apa yang bisa saya lakukan? Saya hanya menonton. Saya menjadi malu. Yah, sangat malu pada diri sendiri. Ternyata saya hanya orang sok baik, yang hanya bisa menilai orang dari bungkusnya semata. Bagaimana bila orang-orang kaya tersebut adalah para donatur tetap panti asuhan?
Momen itu menjadi tamparan tersendiri buat saya. Jangan merasa diri lebih baik daripada orang lain, lebih berilmu, lebih religius, lebih beriman, dan sejenisnya. Kita tidak tahu amalan tersembunyi yang dilakukan orang, yang bisa jadi jauuuh lebih mulia dari amal yang telah kita perbuat.
Marhaban ya Ramadhan. Semoga diri menjadi pribadi yang selalu berkembang menjadi lebih baik dan lebih baik.
Nganjuk, 12 April 2021.