Sabtu, 19 Desember 2020

KEBAHAGIAANKU

Menemani para ASD itu menyenangkan. Apalagi saat anak yang sudah dianggap terlambat mendapatkan penanganan ternyata bisa berkembang tak terduga. 

Ada ASD sudah berusia 9 tahun saat kuhandel. Suka mengamuk, gulung, menangis teriak-teriak tiap kali yang dimaui tidak dituruti atau tidak dimengerti. Bicara terbatas, hanya mau mengucapkan satu suku kata. Setiap menginginginkan sesuatu lari tanpa mengenal bahaya. 

Dulu, pernah hampir putus asa menghadapinya. Setiap akan memulai treatment kuelus dari pundak sampai ujung tangan kanan dan kirinya sambil berdoa untuk menenangkannya. Kebetulan dia suka dielus, jadi kulakukan itu agar dia tidak ngamuk. Aku hampir tak sanggup menahannya bila dia tantrum. Tubuhnya tinggi besar dan kuat, tidak seperti anak seusianya. Makannya juga kuat dan seperti tak kenal rasa kenyang. 

ASD memang kadang tantrum, tetapi mereka tetaplah anak berhati bersih yang punya kepekaan hati. Mereka bisa merasakan ketulusan. 

Demikian juga anak yang aku tangani. Dia pun tahu aku bermaksud baik. Dia berusaha progres, dari mengucapkan satu suku kata, lalu dua suku kata. Berkembang menjadi empat suku kata. 

Setiap kali memulai belajar ada doa belajar dan membaca fatihah. Dia cuma ah-eh mendengarku melafalkannya. Belajar diakhiri dengan membaca surat-surat pendek dan Al Asr serta doa dalam Bahasa Indonesia. 

Bulan lalu tiba-tiba dia mengajak mengakhiri belajar dengan membaca surat Al Asr secara lengkap. Aku terbelalak dan bahagia. Sebagai rewardnya kuturuti permintaannya. Tak disangka waktu berikutnya dia memberi surprise dengan hafal surat Al Ihlas, lalu surat An-Naas, terakhir surat Al Falaq dan Al Fatihah meski dengan pelafalan yang belum sempurna. 

Bulan terakhir di tahun ini, dia sudah mulai bisa meminta sesuatu dengan kalimat yang bisa dimengerti. Dan satu kejutan lagi: menyanyi "Burung Kakak Tua" dengan ekspresif. Alhamdulillah, segala puji bagi-Mu, Yaa Allah.



Nganjuk, 19 Desember 2020

Minggu, 13 Desember 2020

Covid di Sekitar Kita


foto diambil dari web World Health Organization

Tahun 2020 sudah berada di penghujung. Masyarakat mulai abai dengan protokol kesehatan, mulai kumpul-kumpul lagi, sering lupa memakai masker, dan tempat cuci tangan mulai hilang dari depan rumah dan pertokoan. Bagaimana dengan hand sanitizer? Sebelas dua belas dengan tempat cuci tangan. Padahal harganya sudah terjangkau. 

Malam ini, saat takziyah di rumah tetangga, seorang teman semasa SMP mengabarkan bahwa salah satu teman kami yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan positif terinfeksi Covid-19. Waduh, kalau berita ini benar berarti aku juga harus melakukan tes. Belum lama aku dan beberapa teman takziyah bersamanya ke teman sesama alumni yang ibunya meninggal. 

Aku segera pulang dan mengirim pesan padanya apakah benar kabar yang kudengar. Ternyata benar. Dia pulang kemarin setelah 2 mingu melakukan isolasi. Cepat-cepat kucek tanggal kami takziyah bersama. Alhamdulillah, kami mengunjungi rumah duka bersama tanggal 19 November. Berarti sudah tiga minggu lebih, sudah melewati 14 hari. Kami tidak mengalami gejala apapun sebagai pertanda tertular, artinya aman. 

Untung temanku yang sempat positif sangat patuh dengan protokol kesehatan. Kami tidak melakukan kontak fisik dan menjalankan physical distancing. Seandainya kami tidak patuh, bisa saja saat itu dia sudah positif dan menulariku atau menulari teman yang lain. 

Mari terus patuhi protokol kesehatan. Terus berihtiyar mencegah penularan Covid-19 tanpa menjadi paranoid. Semoga kita selalu sehat dan terhindar dari segala penyakit. 



Nganjuk, 13 Desember 2020. 

 

  

Rabu, 09 Desember 2020

PISANG


Pagi ini, entah kenapa aku ingin sekali menengok kebunku yang kutanami pisang. Ada pisang entah apa namanya, yang berpohon pendek, namun tandan buahnya panjang. Mestinya salah satu pohon siap dipetik. 

Sesampai di kebun, alangkah terkejutnya aku. Buah pisang setandan bersisir banyak itu telah raib. Tinggal pohonnya yang masih berdiri kokoh. Sebelumnya, aku berangan-angan pasti laku mahal bila dijual. Andai ditawar murah, aku akan membagikannya untuk para tetangga dan sahabat. 

Aku memang jarang menjual pisang dan mangga hasil tanamanku. Biasanya aku bagikan. Maklumlah, kami bukan orang kaya. Ditambah kondisi pandemi seperti ini, ya begitulah kemampuanku bersedekah. 

Aku berusaha mengatasi rasa kecewaku. Kecewa karena urung mendapatkan uang untuk membeli beras atau urung melihat wajah-wajah sumringah menerima pisang pemberianku. Kupacu sepeda motorku untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung sebelah desa. 

Saat berbelanja ada yang bertanya aku habis dari mana. Kuceritakan perihal pisangku yang hilang beserta lokasi kebunku. Si pemilik warung lalu menceritakan tentang putri tetanggaku dulu yang tinggal tak jauh dari kebunku. Putri tetanggaku yang dahulu terkenal cantik itu kini sakit parah akibat kanker lidah. 

Aku seakan tidak percaya. Beberapa bulan tidak keluar rumah akibat adanya pandemi sungguh membuatku kehilangan informasi tentang orang-orang dekat dan beberapa tetangga. Aku memang hampir tak pernah keluar rumah, kecuali ada urusan penting. 

Siangnya, aku kepikiran terus dengan cerita pemilik warung. Aku harus menengoknya hari ini juga. Tetapi nanti aku harus ngomong apa? Aku benar-benar bingung memilih kata-kata yang tepat untuk membuatnya bersemangat dalam menjalani hidup saat menjenguknya. Jangan sampai aku membuatnya drop karena pemilihan diksi yang tidak tepat. 

Akhirnya, aku menghubungi seorang teman penyintas kanker. Aku bertanya apa yang sebaiknya aku lakukan saat menjenguk si mantan tetangga yang menderita kanker. Ternyata sarannya disuruh diam saja. Cukup dengarkan saja yang diceritakan pasien dan keluarganya. Nanti akan mengalir sendiri tanpa aku banyak bicara. 

Sorenya, aku, suami dan ketiga anakku berangkat menjenguk. Sengaja kami datang sekeluarga karena sekalian akan mengunjungi bapak mertua. 

Sesampainya di rumah pasien, aku disambut putra sulungnya yang juga teman anak bungsuku. 

“Ibuknya Dini mau menengok ibuk? Silakan ke kamar. Ibu di kamar.” Sambutnya ramah 

Alangkah terkejut aku saat mendapati si sakit dengan kondisi yang memprihatinkan. Ya Allah, si cantik berkulit putih, tinggi tegap itu sekarang tergolek lemah. Mulutnya sulit menutup karena ada benjolan di lidahnya. Tubuhnya kurus, tinggal kulit membalut tulang. 

“Eh, Mbak Fatim.” Lalu aku tidak mengerti kata-kata yang diucapkannya karena tidak jelas akibat kondisinya. 

Aku mengelus pundaknya dan meminta maaf baru menengoknya karena baru tadi pagi tahu kalau dia sakit. Wajahnya tampak berbinar dan berusaha bercerita. Sayang aku tidak mengerti yang diucapkannya. Suaminya lalu bercerita tentang kronologi penyakit yang diderita istrinya. Setelah beberapa saat aku pamit pulang dan menyerahkan sebuah amplop. Dia menolaknya, tetapi aku tetap menaruhnya dalam genggamannya. 

Dalam perjalanan ke rumah bapak mertua, aku teringat sesuatu. Betapa malunya diriku. Malu pada Allah yang telah memberiku karunia yang besar berupa sehat tapi kecewa ketika kehilangan pisang. 



Nganjuk, 8 Desember 2020.

PAMER

  Ada tulisan dari seorang influencer yang mengajak unsubcribe Atta Halilintar karena dianggap terlalu mengekspos kekayaannya. Hal ini dite...