Jumat, 09 Oktober 2020

Positif


 

Hari masih gelap. Suami dan ketiga anak Surti masih terlelap dalam buaian mimpi. Surti mengendap-endap ke kamar kecil. Dia takut suami dan anak-anaknya terbangun.

Masih menempel di benak Surti kejadian satu setengah bulan lalu. Waktu itu adalah anniversary mereka yang ke-25. Kata orang-orang anniversary perak. Surti bahagia. Ia ingin merayakannya bersama anak dan suaminya saja. Ia tidak mengundang keluarga besar, teman, ataupun tetangganya.

“Ah, biarlah. Aku kan tidak punya cukup uang. Kalau mengundang orang pasti butuh biaya banyak. Nanti kalau ada yang tanya kenapa tidak diundang, bilang saja masa pandemi tidak boleh berkumpul dengan orang banyak.” Batin Surti sambil senyum-senyum.

Hari itu Surti memesan tart ke seorang temannya. Harganya tidak sampai seratus ribu. Tart kecil yang dihiasi bunga nan cantik itu sungguh membuatnya kagum. Surti tidak bisa membuat tart sendiri. Dia cuma bisa bikin bubur merah putih. Bubur merah putih? Apa nanti kata teman-temannya bila diunggah di Fasebook, acara anniversary pernikahan peraknya pakai bubur merah putih? Surti tidak mau dirinya jadi bahan olok-olokan di medsos.

Selain tart, Surti juga memasak yang spesial dan membuat es Oyen. Pagi-pagi, Toni, anak sulung Surti menangkap ayam di kandang belakang dan menyembelihnya untuk dimasak ibunya. Hari itu Surti masak kesukaan keluarganya, Opor Ayam. Toni juga memanjat pohon kelapa Gading yang sedang berbuah lebat untuk diambil degannya untuk bikin es Oyen.  Surti sangat mengandalkan putra sulungnya yang rajin dan penurut.

Waktu hari H acara anniversary perak, Surti ingin membuat kejutan untuk suaminya, Tejo. Kebetulan sehabis salat subuh, Tejo berangkat ke rumah Haji Ghoni, orang terkaya di desanya. Haji Ghoni mempunyai sawah berhektar-hektar, peternakan kambing Etawa, dan kolam ikan gurami. Sejak bujang, Tejo sudah bekerja pada Haji Ghoni. Berarti Tejo sudah bekerja selama dua puluh lima tahun lebih pada Haji Ghoni. Pekerjaan utama Tejo adalah membajak sawah dan mengawasi para pekerja yang menggarap sawah Haji Ghoni.

Sore itu Tejo pulang untuk mandi dan salat asar. Seperti biasa, Tejo mengajak anak-anaknya salat berjamaah. Salat berjamaah di rumah keluarga Tejo hanya dilakukan pada waktu salat asar saja. Selain waktu asar, salat dilakukan berjamaah di langgar yang jaraknya sekitar lima puluh meter dari rumahnya. Sewaktu mereka berdoa, HP Tejo berdering. Cepat-cepat Tejo mengangkatnya.

Surti tidak tahu itu telpon dari siapa. Ia hanya mendengar suaminya menjawab dengan jawaban nggih berkali-kali. Surti paling tidak suka bila saat ditelpon orang, suaminya cuma menjawab nggih atau iya. Baginya, itu seperti kerbau yang dicocok hidungnya, hanya menurut tanpa mempunyai ide.

Tak lama setelah menerima telepon, Tejo sudah tampak siap akan pergi lagi dengan mengenakan jaket. Lalu dia pamit kepada istrinya dengan terburu-buru.

“Dhek, aku keluar dulu ya? Penting.” Katanya pada Surti.

“Ke mana, Mas? Jangan lama-lama ya? Nanti habis maghrib kita ngumpul sambil makan malam.” Surti bicara sambil mengikuti suaminya yang tergesa-gesa melesat bersama motor CB-nya.

Petang telah beranjak ke malam. Surti dan ketiga anaknya menunggu Tejo pulang. Namun suara motor CB yang mereka nanti tak kunjung tiba di halaman rumah.

Surti semakin gelisah. Dilihatnya jam yang menempel di dinding ruang tamu. Jarum panjang menunjuk ke angka dua belas, sementara jarum pendek menunjuk ke angka tujuh.

“Buk, aku sudah lapar. Kita makan yuk, opor ayamnya?” Rengek Bagus, putra bungsunya.

“Sabar kenapa sih, Le? Kita tunggu lagi Bapak setengah jam lagi.” Bujuk Surti.

“Tapi Bagus sudah lapar, Buk. Lihat nih, perut Bagus sampai mau lengket dengan tulang belakang.” Jawab Bagus sambil memperlihatkan perutnya yang dikempiskan.

Surti beranjak berdiri, lalu berjalan ke teras untuk menengok suaminya. Lama dia melihat jalan di depan rumahnya, namun Tejo tidak nongol juga. Surti kembali masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Tiba-tiba dia ingat sesuatu.

“Hmmm... Pasti Mas Tejo lagi nongkrong di warung Wati. Janda cantik yang suaminya meninggal setahun lalu itu memang kurang ajar!” Surti bergumam sambil mengepalkan tangannya.

“Ton, Toni! Tolong lihat warung Mbak Wati. Mungkin Bapak lagi ngopi di sana. Kalau tidak ada, cari di rumah Pak Haji Ghoni ya,” Perintah Surti dengan suara lantang.

Toni segera bergegas mengambil sepedanya dan mengayuhnya meninggalkan rumah. Dia tidak mau ibunya mengomel bila dirinya tidak segera berangkat.

Malam itu, Surti benar-benar jengkel dengan suaminya. Tejo tak juga pulang. Toni yang mencari bapaknya ke berbagai tempat pun tak menemukannya. Usaha Surti untuk memberi kejutan pada Tejo dengan merayakan ulang tahun pernikahan mereka pupus sudah. Anak-anak dibiarkannya menikmati opor ayam tanpa dirinya. Surti kehilangan nafsu makannya karena kecewa dengan suaminya. Dia jengkel, sejengkel-jengkelnya.

Jam baru saja berdentang satu kali ketika terdengar suara ketukan pelan di ruang tamu. Surti yang belum tidur sesaat pun beranjak membuka pintu untuk suaminya.

“Dari mana kamu, Mas? Dari rumah Mbak Wati, ya? Tega kamu ya? Aku mati-matian berusaha membuatmu bahagia, kamu malah selingkuh.” Surti melampiaskan kekesalannya sambil memukuli dada suaminya.

“Sabar to, Dhek. Dengarkan penjelasanku dulu.” Tejo berusaha meredam kemarahan istrinya sambil menariknya ke dalam kamar. Ia takut anak-anaknya terbangun mendengar pertengkaran mereka.

Tejo memeluk erat Surti dan mencium bibirnya agar omelannya berhenti dan kemarahannya mereda. Meski Surti berusaha melepaskan diri, namun lama-lama dia menikmati ciuman suaminya. Mereka pun menikmati malam berdua.

Surti tersadar dari lamunannya ketika mendengar tarhim dari masjid desanya. Dipandangnya benda panjang seukuran pangkal batang lidi itu, lalu dikibas-kibaskannya. Surti menatap benda itu dengan berdebar-debar. Sesaat kemudian dilihatnya dua strip merah di benda itu.

“Hah, positif?” Gumam Surti sampai terduduk. Tubuhnya terasa lemas. Ia ingat saat sibuk mempersiapkan acara ulang tahun perkawinan dan dongkol dengan Tejo, ia lupa meminum pil untuk mencegah kehamilan. Kini, di usianya yang sudah 45 tahun rasanya berat bila harus hamil lagi. Surti juga malu, maluuu sekali.

 

Cerita di atas merupakan cerita fiksi dalam bentuk fiksi mini (Fikmin) yang biasa juga disebut dengan Cermin (Cerita Mini). Bisa dijadikan sebagai contoh atau pemantik ide bagi yang sedang belajar menulis fiksi.

 

8 komentar:

  1. Tersenyum baca endingnya~ Jujur saya udah deg-degan saja apa positif itu artinya positif tertular penyakit, makanya ikut senang karena tidak berakhir sendu. Semangat terus, Surti! Ayo gabung ke OPEReT biar tidak merasa sendiri~ haha.

    BalasHapus
  2. Tak kira positif corona๐Ÿ˜€๐Ÿ˜€๐Ÿ˜€ tak tahunya positif hamil

    BalasHapus
  3. Boleh kenalan lagi ternyata Njenengan Bu Tejo ๐Ÿฅฐ selamat ya Bu. Dapat rejeki.

    BalasHapus
  4. Sempat suudzon nih sama Si Tejo. thank you ceritanya, Kak

    BalasHapus

PAMER

  Ada tulisan dari seorang influencer yang mengajak unsubcribe Atta Halilintar karena dianggap terlalu mengekspos kekayaannya. Hal ini dite...