Hari masih gelap. Suami dan ketiga anak
Surti masih terlelap dalam buaian mimpi. Surti mengendap-endap ke kamar kecil.
Dia takut suami dan anak-anaknya terbangun.
Masih menempel di benak Surti kejadian
satu setengah bulan lalu. Waktu itu adalah anniversary mereka yang ke-25. Kata orang-orang
anniversary perak. Surti bahagia. Ia ingin merayakannya bersama anak dan
suaminya saja. Ia tidak mengundang keluarga besar, teman, ataupun tetangganya.
“Ah, biarlah. Aku kan tidak punya cukup
uang. Kalau mengundang orang pasti butuh biaya banyak. Nanti kalau ada yang
tanya kenapa tidak diundang, bilang saja masa pandemi tidak boleh berkumpul
dengan orang banyak.” Batin Surti sambil senyum-senyum.
Hari itu Surti memesan tart ke seorang
temannya. Harganya tidak sampai seratus ribu. Tart kecil yang dihiasi bunga nan cantik itu sungguh membuatnya kagum. Surti tidak bisa membuat tart sendiri. Dia cuma bisa
bikin bubur merah putih. Bubur merah putih? Apa nanti kata teman-temannya bila
diunggah di Fasebook, acara anniversary pernikahan peraknya pakai bubur merah
putih? Surti tidak mau dirinya jadi bahan olok-olokan di medsos.
Selain tart, Surti juga memasak yang
spesial dan membuat es Oyen. Pagi-pagi, Toni, anak sulung Surti menangkap ayam
di kandang belakang dan menyembelihnya untuk dimasak ibunya. Hari itu Surti
masak kesukaan keluarganya, Opor Ayam. Toni juga memanjat pohon kelapa Gading
yang sedang berbuah lebat untuk diambil degannya untuk bikin es Oyen. Surti sangat mengandalkan putra sulungnya
yang rajin dan penurut.
Waktu hari H acara anniversary perak,
Surti ingin membuat kejutan untuk suaminya, Tejo. Kebetulan sehabis salat
subuh, Tejo berangkat ke rumah Haji Ghoni, orang terkaya di desanya. Haji Ghoni
mempunyai sawah berhektar-hektar, peternakan kambing Etawa, dan kolam ikan
gurami. Sejak bujang, Tejo sudah bekerja pada Haji Ghoni. Berarti Tejo sudah
bekerja selama dua puluh lima tahun lebih pada Haji Ghoni. Pekerjaan utama Tejo adalah membajak
sawah dan mengawasi para pekerja yang menggarap sawah Haji Ghoni.
Sore itu Tejo pulang untuk mandi dan
salat asar. Seperti biasa, Tejo mengajak anak-anaknya salat berjamaah. Salat
berjamaah di rumah keluarga Tejo hanya dilakukan pada waktu salat asar saja.
Selain waktu asar, salat dilakukan berjamaah di langgar yang jaraknya sekitar
lima puluh meter dari rumahnya. Sewaktu mereka berdoa, HP Tejo berdering.
Cepat-cepat Tejo mengangkatnya.
Surti tidak tahu itu telpon dari siapa.
Ia hanya mendengar suaminya menjawab dengan jawaban nggih berkali-kali. Surti
paling tidak suka bila saat ditelpon orang, suaminya cuma menjawab nggih atau iya.
Baginya, itu seperti kerbau yang dicocok hidungnya, hanya menurut tanpa
mempunyai ide.
Tak lama setelah menerima telepon, Tejo
sudah tampak siap akan pergi lagi dengan mengenakan jaket. Lalu dia pamit
kepada istrinya dengan terburu-buru.
“Dhek, aku keluar dulu ya? Penting.” Katanya
pada Surti.
“Ke mana, Mas? Jangan lama-lama ya? Nanti
habis maghrib kita ngumpul sambil makan malam.” Surti bicara sambil mengikuti
suaminya yang tergesa-gesa melesat bersama motor CB-nya.
Petang telah beranjak ke malam. Surti dan
ketiga anaknya menunggu Tejo pulang. Namun suara motor CB yang mereka nanti tak
kunjung tiba di halaman rumah.
Surti semakin gelisah. Dilihatnya jam
yang menempel di dinding ruang tamu. Jarum panjang menunjuk ke angka dua belas,
sementara jarum pendek menunjuk ke angka tujuh.
“Buk, aku sudah lapar. Kita makan yuk,
opor ayamnya?” Rengek Bagus, putra bungsunya.
“Sabar kenapa sih, Le? Kita tunggu lagi
Bapak setengah jam lagi.” Bujuk Surti.
“Tapi Bagus sudah lapar, Buk. Lihat nih,
perut Bagus sampai mau lengket dengan tulang belakang.” Jawab Bagus sambil
memperlihatkan perutnya yang dikempiskan.
Surti beranjak berdiri, lalu berjalan ke
teras untuk menengok suaminya. Lama dia melihat jalan di depan rumahnya, namun
Tejo tidak nongol juga. Surti kembali masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang
tamu. Tiba-tiba dia ingat sesuatu.
“Hmmm... Pasti Mas Tejo lagi nongkrong di
warung Wati. Janda cantik yang suaminya meninggal setahun lalu itu memang kurang
ajar!” Surti bergumam sambil mengepalkan tangannya.
“Ton, Toni! Tolong lihat warung Mbak
Wati. Mungkin Bapak lagi ngopi di sana. Kalau tidak ada, cari di rumah Pak Haji
Ghoni ya,” Perintah Surti dengan suara lantang.
Toni segera bergegas mengambil sepedanya
dan mengayuhnya meninggalkan rumah. Dia tidak mau ibunya mengomel bila dirinya
tidak segera berangkat.
Malam itu, Surti benar-benar jengkel
dengan suaminya. Tejo tak juga pulang. Toni yang mencari bapaknya ke berbagai
tempat pun tak menemukannya. Usaha Surti untuk memberi kejutan pada Tejo dengan
merayakan ulang tahun pernikahan mereka pupus sudah. Anak-anak dibiarkannya
menikmati opor ayam tanpa dirinya. Surti kehilangan nafsu makannya karena
kecewa dengan suaminya. Dia jengkel, sejengkel-jengkelnya.
Jam baru saja berdentang satu kali ketika
terdengar suara ketukan pelan di ruang tamu. Surti yang belum tidur sesaat pun
beranjak membuka pintu untuk suaminya.
“Dari mana kamu, Mas? Dari rumah Mbak
Wati, ya? Tega kamu ya? Aku mati-matian berusaha membuatmu bahagia, kamu malah
selingkuh.” Surti melampiaskan kekesalannya sambil memukuli dada suaminya.
“Sabar to, Dhek. Dengarkan penjelasanku
dulu.” Tejo berusaha meredam kemarahan istrinya sambil menariknya ke dalam
kamar. Ia takut anak-anaknya terbangun mendengar pertengkaran mereka.
Tejo memeluk erat Surti dan mencium
bibirnya agar omelannya berhenti dan kemarahannya mereda. Meski Surti berusaha
melepaskan diri, namun lama-lama dia menikmati ciuman suaminya. Mereka pun
menikmati malam berdua.
Surti tersadar dari lamunannya ketika
mendengar tarhim dari masjid desanya. Dipandangnya benda panjang seukuran pangkal batang lidi itu, lalu dikibas-kibaskannya. Surti menatap benda itu dengan
berdebar-debar. Sesaat kemudian dilihatnya dua strip merah di benda itu.
“Hah, positif?” Gumam Surti sampai
terduduk. Tubuhnya terasa lemas. Ia ingat saat sibuk mempersiapkan acara ulang
tahun perkawinan dan dongkol dengan Tejo, ia lupa meminum pil untuk mencegah
kehamilan. Kini, di usianya yang sudah 45 tahun rasanya berat bila harus hamil
lagi. Surti juga malu, maluuu sekali.
Tersenyum baca endingnya~ Jujur saya udah deg-degan saja apa positif itu artinya positif tertular penyakit, makanya ikut senang karena tidak berakhir sendu. Semangat terus, Surti! Ayo gabung ke OPEReT biar tidak merasa sendiri~ haha.
BalasHapusTak kira positif corona๐๐๐ tak tahunya positif hamil
BalasHapusTerima kasih atas apresiasinya
BalasHapusTerima kasih atas apresiasinya
BalasHapusBoleh kenalan lagi ternyata Njenengan Bu Tejo ๐ฅฐ selamat ya Bu. Dapat rejeki.
BalasHapusSempat suudzon nih sama Si Tejo. thank you ceritanya, Kak
BalasHapusEndingnya gemes ☺
BalasHapusGood
BalasHapus