Awal
pandemi ada seorang teman yang sharing
tentang pelatihan menulis. Pelatihan tersebut dimentori oleh seorang penulis
yang sudah lama malang melintang menulis di media massa dan sudah menelurkan
puluhan buku, Teguh Wahyu Utomo. Maka aku pun secepatnya menghubungi beliau
karena takut kuota peserta habis.
Sebelum
materi utama disampaikan, sang Trainer bertanya kepada peserta, apa saja
kendala mereka dalam menulis. Para peserta dengan antusias mengatakan
kesulitan-kesulitan yang dihadapi saat menulis. Ada yang terkendala moody,
tidak punya waktu karena bekerja, kurang referensi, dan lain-lain. Waktu itu,
aku menyampaikan mencari ide, memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan
ideku, dan takut tulisan tidak layak dibaca adalah hambatan terbesarku. Ya,
itulah mental block-ku.
Untuk
menghilangkan mental block-ku, Pak Tom, begitulah beliau sering dipanggil,
menyarankan beberapa hal. Pertama, ketakutan tulisan tidak layak dibaca
merupakan kekhawatiran yang tidak perlu. Karena, setiap penulis mempunyai
segmen pembacanya masing-masing. Ada pembaca yang suka tulisan yang lugas,
simpel, dan mudah dimengerti. Sebaliknya, ada pembaca yang gemar mengonsumsi
tulisan yang puitis dan penuh makna.
Kedua,
kesulitan menuangkan ide agar mudah dipahami oleh pembaca ternyata solusinya
sangat sederhana tetapi butuh kedisiplinan, yaitu membaca secara teratur. Baca,
baca, baca, lalu tulis. Semakin banyak kita membaca, semakin banyak pula kosa
kata yang dapat digunakan untuk mengekspresikan ide kita.
Terakhir,
ternyata aku berfikir terlalu besar tentang ide apa yang akan kutulis sehingga
membuatku merasa tak punya gagasan. Bukankah sehari-hari kita sebenarnya sudah
menulis? Misal, menulis daftar belanjaan. Dari list tersebut kita bisa
menuliskan di mana tempat belanja yang nyaman dan murah, apa saja ciri-ciri
barang yang kita beli berkualitas, bagaimana mengatur keuangan kita agar cukup,
dan sebagainya.
Tanpa kusadari, ternyata aku sering menulis. Ya, setiap hari aku menulis laporan tentang apa saja yang dipelajari dan dicapai oleh Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang aku dampingi. Bila dijabarkan secara detail, tentu laporanku sudah menjadi sebuah buku. Ah, ternyata aku sudah biasa menulis. Tinggal bagaimana mengembangkannya agar lebih lengkap dan dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Sebelum
materi utama disampaikan, sang trainer bertanya kepada peserta, apa saja
kendala mereka dalam menulis. Para peserta dengan antusias mengatakan
kesulitan-kesulitan yang dihadapi saat menulis. Ada yang terkendala moody,
tidak punya waktu karena bekerja, kurang referensi, dan lain-lain. Waktu itu,
aku menyampaikan mencari ide, memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan
ideku, dan takut tulisan tidak layak dibaca adalah hambatan terbesarku. Ya,
itulah mental block-ku.
Untuk
menghilangkan mental block-ku, Pak Tom, begitulah beliau sering dipanggil,
menyarankan beberapa hal. Pertama, ketakutan tulisan tidak layak dibaca
merupakan kekhawatiran yang tidak perlu. Karena, setiap penulis mempunyai
segmen pembacanya masing-masing. Ada pembaca yang suka tulisan yang lugas,
simpel, dan mudah dimengerti. Sebaliknya, ada pembaca yang gemar mengonsumsi
tulisan yang puitis dan penuh makna.
Kedua,
kesulitan menuangkan ide agar mudah dipahami oleh pembaca ternyata solusinya
sangat sederhana tapi butuh kedisiplinan, yaitu membaca secara teratur. Baca,
baca, baca, lalu tulis. Semakin banyak kita membaca, semakin banyak pula kosa
kata yang dapat digunakan untuk mengekspresikan ide kita.
Terakhir,
ternyata aku berfikir terlalu besar tentang ide apa yang akan kutulis sehingga
membuatku merasa tak punya gagasan. Bukankah sehari-hari kita sebenarnya sudah
menulis? Misal, menulis daftar belanja. Dari list tersebut kita bisa
menuliskan di mana tempat belanja yang nyaman dan murah, apa saja ciri-ciri
barang yang kita beli berkualitas, bagaimana mengatur keuangan kita agar cukup,
dan sebagainya.
Tanpa
kusadari, ternyata aku sering menulis. Ya, setiap hari aku menulis laporan
tentang apa saja yang dipelajari dan dicapai oleh Anak Berkebutuhan Khusus
(ABK) yang aku dampingi. Bila dijabarkan secara detail, tentu laporanku
sudah menjadi sebuah buku. Ah, ternyata aku sudah biasa menulis. Tinggal
bagaimana mengembangkannya agar lebih lengkap dan dapat bermanfaat bagi
pembacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar