Selasa, 06 Oktober 2020

Bisa Karena Biasa


Awal  pandemi ada seorang teman yang sharing tentang pelatihan menulis. Pelatihan tersebut dimentori oleh seorang penulis yang sudah lama malang melintang menulis di media massa dan sudah menelurkan puluhan buku, Teguh Wahyu Utomo. Maka aku pun secepatnya menghubungi beliau karena takut kuota peserta habis.

Sebelum materi utama disampaikan, sang Trainer bertanya kepada peserta, apa saja kendala mereka dalam menulis. Para peserta dengan antusias mengatakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi saat menulis. Ada yang terkendala moody, tidak punya waktu karena bekerja, kurang referensi, dan lain-lain. Waktu itu, aku menyampaikan mencari ide, memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan ideku, dan takut tulisan tidak layak dibaca adalah hambatan terbesarku. Ya, itulah mental block-ku.

Untuk menghilangkan mental block-ku, Pak Tom, begitulah beliau sering dipanggil, menyarankan beberapa hal. Pertama, ketakutan tulisan tidak layak dibaca merupakan kekhawatiran yang tidak perlu. Karena, setiap penulis mempunyai segmen pembacanya masing-masing. Ada pembaca yang suka tulisan yang lugas, simpel, dan mudah dimengerti. Sebaliknya, ada pembaca yang gemar mengonsumsi tulisan yang puitis dan penuh makna.

Kedua, kesulitan menuangkan ide agar mudah dipahami oleh pembaca ternyata solusinya sangat sederhana tetapi butuh kedisiplinan, yaitu membaca secara teratur. Baca, baca, baca, lalu tulis. Semakin banyak kita membaca, semakin banyak pula kosa kata yang dapat digunakan untuk mengekspresikan ide kita.

Terakhir, ternyata aku berfikir terlalu besar tentang ide apa yang akan kutulis sehingga membuatku merasa tak punya gagasan. Bukankah sehari-hari kita sebenarnya sudah menulis? Misal, menulis daftar belanjaan. Dari list tersebut kita bisa menuliskan di mana tempat belanja yang nyaman dan murah, apa saja ciri-ciri barang yang kita beli berkualitas, bagaimana mengatur keuangan kita agar cukup, dan sebagainya.

Tanpa kusadari, ternyata aku sering menulis. Ya, setiap hari aku menulis laporan tentang apa saja yang dipelajari dan dicapai oleh Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)  yang aku dampingi. Bila dijabarkan secara detail, tentu laporanku sudah menjadi sebuah buku. Ah, ternyata aku sudah biasa menulis. Tinggal bagaimana mengembangkannya agar lebih lengkap dan dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Sebelum materi utama disampaikan, sang trainer bertanya kepada peserta, apa saja kendala mereka dalam menulis. Para peserta dengan antusias mengatakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi saat menulis. Ada yang terkendala moody, tidak punya waktu karena bekerja, kurang referensi, dan lain-lain. Waktu itu, aku menyampaikan mencari ide, memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan ideku, dan takut tulisan tidak layak dibaca adalah hambatan terbesarku. Ya, itulah mental block-ku.

Untuk menghilangkan mental block-ku, Pak Tom, begitulah beliau sering dipanggil, menyarankan beberapa hal. Pertama, ketakutan tulisan tidak layak dibaca merupakan kekhawatiran yang tidak perlu. Karena, setiap penulis mempunyai segmen pembacanya masing-masing. Ada pembaca yang suka tulisan yang lugas, simpel, dan mudah dimengerti. Sebaliknya, ada pembaca yang gemar mengonsumsi tulisan yang puitis dan penuh makna.

Kedua, kesulitan menuangkan ide agar mudah dipahami oleh pembaca ternyata solusinya sangat sederhana tapi butuh kedisiplinan, yaitu membaca secara teratur. Baca, baca, baca, lalu tulis. Semakin banyak kita membaca, semakin banyak pula kosa kata yang dapat digunakan untuk mengekspresikan ide kita.

Terakhir, ternyata aku berfikir terlalu besar tentang ide apa yang akan kutulis sehingga membuatku merasa tak punya gagasan. Bukankah sehari-hari kita sebenarnya sudah menulis? Misal, menulis daftar belanja. Dari list tersebut kita bisa menuliskan di mana tempat belanja yang nyaman dan murah, apa saja ciri-ciri barang yang kita beli berkualitas, bagaimana mengatur keuangan kita agar cukup, dan sebagainya.

Tanpa kusadari, ternyata aku sering menulis. Ya, setiap hari aku menulis laporan tentang apa saja yang dipelajari dan dicapai oleh Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)  yang aku dampingi. Bila dijabarkan secara detail, tentu laporanku sudah menjadi sebuah buku. Ah, ternyata aku sudah biasa menulis. Tinggal bagaimana mengembangkannya agar lebih lengkap dan dapat bermanfaat bagi pembacanya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PAMER

  Ada tulisan dari seorang influencer yang mengajak unsubcribe Atta Halilintar karena dianggap terlalu mengekspos kekayaannya. Hal ini dite...