Ternyata, banyak pandangan miring terhadap anak berkebutuhan khusus. Ada berbagai stereotip keliru yang membuat ABK dan orang tua merasa tidak nyaman.
Selasa, 13 Oktober 2020
Stereotip Salah Kaprah terhadap Orang Tua ABK
Jumat, 09 Oktober 2020
Positif
Hari masih gelap. Suami dan ketiga anak
Surti masih terlelap dalam buaian mimpi. Surti mengendap-endap ke kamar kecil.
Dia takut suami dan anak-anaknya terbangun.
Masih menempel di benak Surti kejadian
satu setengah bulan lalu. Waktu itu adalah anniversary mereka yang ke-25. Kata orang-orang
anniversary perak. Surti bahagia. Ia ingin merayakannya bersama anak dan
suaminya saja. Ia tidak mengundang keluarga besar, teman, ataupun tetangganya.
“Ah, biarlah. Aku kan tidak punya cukup
uang. Kalau mengundang orang pasti butuh biaya banyak. Nanti kalau ada yang
tanya kenapa tidak diundang, bilang saja masa pandemi tidak boleh berkumpul
dengan orang banyak.” Batin Surti sambil senyum-senyum.
Hari itu Surti memesan tart ke seorang
temannya. Harganya tidak sampai seratus ribu. Tart kecil yang dihiasi bunga nan cantik itu sungguh membuatnya kagum. Surti tidak bisa membuat tart sendiri. Dia cuma bisa
bikin bubur merah putih. Bubur merah putih? Apa nanti kata teman-temannya bila
diunggah di Fasebook, acara anniversary pernikahan peraknya pakai bubur merah
putih? Surti tidak mau dirinya jadi bahan olok-olokan di medsos.
Selain tart, Surti juga memasak yang
spesial dan membuat es Oyen. Pagi-pagi, Toni, anak sulung Surti menangkap ayam
di kandang belakang dan menyembelihnya untuk dimasak ibunya. Hari itu Surti
masak kesukaan keluarganya, Opor Ayam. Toni juga memanjat pohon kelapa Gading
yang sedang berbuah lebat untuk diambil degannya untuk bikin es Oyen. Surti sangat mengandalkan putra sulungnya
yang rajin dan penurut.
Waktu hari H acara anniversary perak,
Surti ingin membuat kejutan untuk suaminya, Tejo. Kebetulan sehabis salat
subuh, Tejo berangkat ke rumah Haji Ghoni, orang terkaya di desanya. Haji Ghoni
mempunyai sawah berhektar-hektar, peternakan kambing Etawa, dan kolam ikan
gurami. Sejak bujang, Tejo sudah bekerja pada Haji Ghoni. Berarti Tejo sudah
bekerja selama dua puluh lima tahun lebih pada Haji Ghoni. Pekerjaan utama Tejo adalah membajak
sawah dan mengawasi para pekerja yang menggarap sawah Haji Ghoni.
Sore itu Tejo pulang untuk mandi dan
salat asar. Seperti biasa, Tejo mengajak anak-anaknya salat berjamaah. Salat
berjamaah di rumah keluarga Tejo hanya dilakukan pada waktu salat asar saja.
Selain waktu asar, salat dilakukan berjamaah di langgar yang jaraknya sekitar
lima puluh meter dari rumahnya. Sewaktu mereka berdoa, HP Tejo berdering.
Cepat-cepat Tejo mengangkatnya.
Surti tidak tahu itu telpon dari siapa.
Ia hanya mendengar suaminya menjawab dengan jawaban nggih berkali-kali. Surti
paling tidak suka bila saat ditelpon orang, suaminya cuma menjawab nggih atau iya.
Baginya, itu seperti kerbau yang dicocok hidungnya, hanya menurut tanpa
mempunyai ide.
Tak lama setelah menerima telepon, Tejo
sudah tampak siap akan pergi lagi dengan mengenakan jaket. Lalu dia pamit
kepada istrinya dengan terburu-buru.
“Dhek, aku keluar dulu ya? Penting.” Katanya
pada Surti.
“Ke mana, Mas? Jangan lama-lama ya? Nanti
habis maghrib kita ngumpul sambil makan malam.” Surti bicara sambil mengikuti
suaminya yang tergesa-gesa melesat bersama motor CB-nya.
Petang telah beranjak ke malam. Surti dan
ketiga anaknya menunggu Tejo pulang. Namun suara motor CB yang mereka nanti tak
kunjung tiba di halaman rumah.
Surti semakin gelisah. Dilihatnya jam
yang menempel di dinding ruang tamu. Jarum panjang menunjuk ke angka dua belas,
sementara jarum pendek menunjuk ke angka tujuh.
“Buk, aku sudah lapar. Kita makan yuk,
opor ayamnya?” Rengek Bagus, putra bungsunya.
“Sabar kenapa sih, Le? Kita tunggu lagi
Bapak setengah jam lagi.” Bujuk Surti.
“Tapi Bagus sudah lapar, Buk. Lihat nih,
perut Bagus sampai mau lengket dengan tulang belakang.” Jawab Bagus sambil
memperlihatkan perutnya yang dikempiskan.
Surti beranjak berdiri, lalu berjalan ke
teras untuk menengok suaminya. Lama dia melihat jalan di depan rumahnya, namun
Tejo tidak nongol juga. Surti kembali masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang
tamu. Tiba-tiba dia ingat sesuatu.
“Hmmm... Pasti Mas Tejo lagi nongkrong di
warung Wati. Janda cantik yang suaminya meninggal setahun lalu itu memang kurang
ajar!” Surti bergumam sambil mengepalkan tangannya.
“Ton, Toni! Tolong lihat warung Mbak
Wati. Mungkin Bapak lagi ngopi di sana. Kalau tidak ada, cari di rumah Pak Haji
Ghoni ya,” Perintah Surti dengan suara lantang.
Toni segera bergegas mengambil sepedanya
dan mengayuhnya meninggalkan rumah. Dia tidak mau ibunya mengomel bila dirinya
tidak segera berangkat.
Malam itu, Surti benar-benar jengkel
dengan suaminya. Tejo tak juga pulang. Toni yang mencari bapaknya ke berbagai
tempat pun tak menemukannya. Usaha Surti untuk memberi kejutan pada Tejo dengan
merayakan ulang tahun pernikahan mereka pupus sudah. Anak-anak dibiarkannya
menikmati opor ayam tanpa dirinya. Surti kehilangan nafsu makannya karena
kecewa dengan suaminya. Dia jengkel, sejengkel-jengkelnya.
Jam baru saja berdentang satu kali ketika
terdengar suara ketukan pelan di ruang tamu. Surti yang belum tidur sesaat pun
beranjak membuka pintu untuk suaminya.
“Dari mana kamu, Mas? Dari rumah Mbak
Wati, ya? Tega kamu ya? Aku mati-matian berusaha membuatmu bahagia, kamu malah
selingkuh.” Surti melampiaskan kekesalannya sambil memukuli dada suaminya.
“Sabar to, Dhek. Dengarkan penjelasanku
dulu.” Tejo berusaha meredam kemarahan istrinya sambil menariknya ke dalam
kamar. Ia takut anak-anaknya terbangun mendengar pertengkaran mereka.
Tejo memeluk erat Surti dan mencium
bibirnya agar omelannya berhenti dan kemarahannya mereda. Meski Surti berusaha
melepaskan diri, namun lama-lama dia menikmati ciuman suaminya. Mereka pun
menikmati malam berdua.
Surti tersadar dari lamunannya ketika
mendengar tarhim dari masjid desanya. Dipandangnya benda panjang seukuran pangkal batang lidi itu, lalu dikibas-kibaskannya. Surti menatap benda itu dengan
berdebar-debar. Sesaat kemudian dilihatnya dua strip merah di benda itu.
“Hah, positif?” Gumam Surti sampai
terduduk. Tubuhnya terasa lemas. Ia ingat saat sibuk mempersiapkan acara ulang
tahun perkawinan dan dongkol dengan Tejo, ia lupa meminum pil untuk mencegah
kehamilan. Kini, di usianya yang sudah 45 tahun rasanya berat bila harus hamil
lagi. Surti juga malu, maluuu sekali.
Puisi Rindu
Semburat mentari mengawali pagi
Ada kosong menyelimuti hati
Adakah rasa yang menggelayuti jiwa?
Bilakah kita kan bersua di beranda?
Menilik Blog Teman
Bagiku yang masih newbie di dunia ngeblog, mengamati blog teman merupakan hal yang sensial. Alasannya sederhana. Aku ingin blogkku bagus dari segi konten maupun tampilan. Ngomong-ngomong soal blog teman, ada salah satu teman yang membuatku tertarik untuk mereview blognya, (https://emmywsakya.blogspot.com). Siapa lagi kalau bukan Bu Emmy? Perempuan yang sudah pensiun dari pekerjaannya dan memiliki cucu ini menarik perhatianku.
Pemilihan theme dengan background hijau, dengan dasar putih di area tulisan, merupakan pilihan yang simpel dan tidak bikin puyeng bagi yang ingin membaca tulisan beliau. Ada lo, blog yang colorfull sehingga justru mengganggu kekhusukan kita dalam membaca.
Font yang digunakan juga dipilih font yang tidak neko-neko, sederhana tetapi membuat nyaman mata pembacanya dengan ukuran yang sesuai. Foto yang diunggah pun lumayan bagus, foto yang original. Bagiku keaslian hasil karya sendiri lebih bagus daripada nyomot karya orang lain.
Soal konten, cukup wow, mengulas tentang Kagoshima, Jepang, dengan penuturan yang runut dan jelas. Ditambah ulasan tentang masakan favorit keluarga besar suami, Garang Asem. Sayang tampilan fotonya kurang besar.
Secara keseluruhan, blog ini recommended. Buktinya, meski terbilang baru, sudah ada beberapa follower.
Menangani Anak Autis
Resensi Buku Nonfiksi: Autisme: Pada Anak
Judul buku: Autisme: Pada Anak
Pengarang: Dr. Dr. Y. Handojo, MPH
Penerbit: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia
Tahun Terbit: 2009
Dimensi: 14,5 x 20 cm
Jumlah halaman: 273
Buku ini sudah lama saya cari. Beberapa toko online yang saya kunjungi menunjukkan stok kosong. Akhirnya ada seorang teman FB yang memberi nomor seseorang yang menjual buku-buku tentang Autisme. Dan saya mendapatkan versi tidak lengkap (tanpa DVD).
Buku yang bertujuan untuk menyiapkan anak autis untuk mandiri dan masuk sekolah reguler dengan Metode ABA Basic ini disampaikan dengan bahasa yan ringkas, padat, dan jelas. Pada Bab I, Pendahuluan, berisi persiapan sebelum melakukan terapi dan teknik-teknik dasar Metode ABA.
Bab selanjutnya berisi langkah demi langkah-langkah Metode ABA (basic) mulai mengajarkan kontak mata, kepatuhan, kemampuan bahasa reseptif, pra-akademik, akademik, sampai step-step melatih kemampuan membantu diri (self help skills). Tidak ketinggalan cara mengajarkan bermain sehingga anak bisa belajar banyak dari aktifitas bermainnya.
Buku ini sangat bagus dimiliki orang tua yang ingin memberikan terapi anak berkelanjutan di rumah setelah mendapatkan terapi dari terapis profesional. Untuk orang tua yang belum pernah belajar Metode ABA, buku ini juga dilengkapi dengan DVD yang dapat memberikan contoh-contoh dari langkah-langkah kegiatan terapi. Hanya satu yang disayangkan, buku yang mengajarkan Metode ABA Basic ini sangat sulit ditemukan, baik di toko buku offline maupun online. Kalaupun ada, kebanyakan bukan buku asli dan tidak disertai DVD.
Selasa, 06 Oktober 2020
Senin, 05 Oktober 2020
Ternyata Aku Biasa Menulis
Awal
pandemi ada seorang teman yang sharing tentang pelatihan menulis. Pelatihan tersebut
dimentori oleh seorang penulis yang sudah lama malang melintang di media massa
dan sudah menelurkan puluhan buku, Teguh Wahyu Utomo. Maka akupun menghubungi
beliau secepatnya karena takut kuota
peserta habis.
Sebelum
materi utama disampaikan, sang trainer bertanya kepada peserta apa saja kendala
dalam menulis. Para peserta dengan antusias mengatakan kesulitan-kesulitan
yang dihadapi saat menulis. Ada yang kendalanya moody, tidak punya waktu karena
bekerja, kurang referensi, dan lain-lain. Waktu itu aku menyampaikan mencari
ide, memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan ideku, dan takut tulisan tidak
layak baca adalah hambatan terbesarku. Ya, itulah mental block-ku.
Untuk
menghilangkan mental block-ku, Pak Tom, begitulah beliau sering dipanggil,
menyarankan beberapa hal. Pertama, bahwa ketakutan tulisan tidak layak dibaca
merupakan kekhawatiran yang tidak perlu. Karena, setiap penulis mempunyai
segmen pembacanya masing-masing. Ada pembaca yang suka tulisan yang lugas,
simpel, dan mudah dimengerti. Sebaliknya, ada pembaca yang gemar mengonsumsi
tulisan yang puitis dan penuh makna.
Kedua,
kesulitan menuangkan ide kita sehingga mudah dipahami oleh pembaca ternyata
solusinya sangat sederhana tapi butuh kedisiplinan, yaitu membaca secara
teratur. Baca, baca, baca, lalu tulis. Semakin banyak kita membaca semakin
banyak pula kosa kata yang dapat digunakan untuk mengekspresikan ide kita.
Terakhir,
ternyata aku berfikir terlalu besar tentang ide apa yang akan kutulis sehingga
membuatku merasa tak punya gagasan. Bukankah sehari-hari kita sebenarnya sudah
menulis? Misal, menulis daftar belanjaan. Dari list tersebut kita bisa menuliskan
di mana tempat belanja yang nyaman dan murah, apa saja ciri-ciri barang yang
kita beli berkualitas, bagaimana mengatur keuangan kita agar cukup, dan
sebagainya.
Tanpa
ku sadari, aku sering menulis. Ya, setiap hari aku menulis laporan tentang apa
saja yang dipelajari dan dicapai oleh Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang aku dampingi. Bila dijabarkan secara
detail, tentu laporanku sudah menjadi sebuah buku. Ah, ternyata aku sudah biasa
menulis. Tinggal bagaimana mengembangkannya agar lebih lengkap dan dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
Nganjuk, 5 Oktober 2020
PAMER
Ada tulisan dari seorang influencer yang mengajak unsubcribe Atta Halilintar karena dianggap terlalu mengekspos kekayaannya. Hal ini dite...
-
Peristiwa ini terjadi awal tahun 2000, saat aku menyewa sebuah rumah tua di sebelah rumahku kini. Rumah tua itu agak jauh dari teta...
-
Hari masih gelap. Suami dan ketiga anak Surti masih terlelap dalam buaian mimpi. Surti mengendap-endap ke kamar kecil. Dia takut suami dan...
-
Menemani para ASD itu menyenangkan. Apalagi saat anak yang sudah dianggap terlambat mendapatkan penanganan ternyata bisa berkembang tak terd...