Pagi ini, entah kenapa aku ingin sekali menengok kebunku yang kutanami pisang. Ada pisang entah apa namanya, yang berpohon pendek, namun tandan buahnya panjang. Mestinya salah satu pohon siap dipetik.
Sesampai di kebun, alangkah terkejutnya aku. Buah pisang setandan bersisir banyak itu telah raib. Tinggal pohonnya yang masih berdiri kokoh. Sebelumnya, aku berangan-angan pasti laku mahal bila dijual. Andai ditawar murah, aku akan membagikannya untuk para tetangga dan sahabat.
Aku memang jarang menjual pisang dan mangga hasil tanamanku. Biasanya aku bagikan. Maklumlah, kami bukan orang kaya. Ditambah kondisi pandemi seperti ini, ya begitulah kemampuanku bersedekah.
Aku berusaha mengatasi rasa kecewaku. Kecewa karena urung mendapatkan uang untuk membeli beras atau urung melihat wajah-wajah sumringah menerima pisang pemberianku. Kupacu sepeda motorku untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung sebelah desa.
Saat berbelanja ada yang bertanya aku habis dari mana. Kuceritakan perihal pisangku yang hilang beserta lokasi kebunku. Si pemilik warung lalu menceritakan tentang putri tetanggaku dulu yang tinggal tak jauh dari kebunku. Putri tetanggaku yang dahulu terkenal cantik itu kini sakit parah akibat kanker lidah.
Aku seakan tidak percaya. Beberapa bulan tidak keluar rumah akibat adanya pandemi sungguh membuatku kehilangan informasi tentang orang-orang dekat dan beberapa tetangga. Aku memang hampir tak pernah keluar rumah, kecuali ada urusan penting.
Siangnya, aku kepikiran terus dengan cerita pemilik warung. Aku harus menengoknya hari ini juga. Tetapi nanti aku harus ngomong apa? Aku benar-benar bingung memilih kata-kata yang tepat untuk membuatnya bersemangat dalam menjalani hidup saat menjenguknya. Jangan sampai aku membuatnya drop karena pemilihan diksi yang tidak tepat.
Akhirnya, aku menghubungi seorang teman penyintas kanker. Aku bertanya apa yang sebaiknya aku lakukan saat menjenguk si mantan tetangga yang menderita kanker. Ternyata sarannya disuruh diam saja. Cukup dengarkan saja yang diceritakan pasien dan keluarganya. Nanti akan mengalir sendiri tanpa aku banyak bicara.
Sorenya, aku, suami dan ketiga anakku berangkat menjenguk. Sengaja kami datang sekeluarga karena sekalian akan mengunjungi bapak mertua.
Sesampainya di rumah pasien, aku disambut putra sulungnya yang juga teman anak bungsuku.
“Ibuknya Dini mau menengok ibuk? Silakan ke kamar. Ibu di kamar.” Sambutnya ramah
Alangkah terkejut aku saat mendapati si sakit dengan kondisi yang memprihatinkan. Ya Allah, si cantik berkulit putih, tinggi tegap itu sekarang tergolek lemah. Mulutnya sulit menutup karena ada benjolan di lidahnya. Tubuhnya kurus, tinggal kulit membalut tulang.
“Eh, Mbak Fatim.” Lalu aku tidak mengerti kata-kata yang diucapkannya karena tidak jelas akibat kondisinya.
Aku mengelus pundaknya dan meminta maaf baru menengoknya karena baru tadi pagi tahu kalau dia sakit. Wajahnya tampak berbinar dan berusaha bercerita. Sayang aku tidak mengerti yang diucapkannya. Suaminya lalu bercerita tentang kronologi penyakit yang diderita istrinya. Setelah beberapa saat aku pamit pulang dan menyerahkan sebuah amplop. Dia menolaknya, tetapi aku tetap menaruhnya dalam genggamannya.
Dalam perjalanan ke rumah bapak mertua, aku teringat sesuatu. Betapa malunya diriku. Malu pada Allah yang telah memberiku karunia yang besar berupa sehat tapi kecewa ketika kehilangan pisang.
Nganjuk, 8 Desember 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar