Senin, 12 April 2021

PAMER

 

Ada tulisan dari seorang influencer yang mengajak unsubcribe Atta Halilintar karena dianggap terlalu mengekspos kekayaannya. Hal ini ditengarai bisa berpengaruh bagi pembentukan karakter para pelajar. Perlu diketahui, mayoritas subcriber Atta adalah para anak yang baru gede alias menginjak remaja. Ada juga video Ade Armando yang mengingatkan Atta dan kawan-kawan agar tidak memamerkan hartanya di media sosial. Konten-konten mereka dinilai tidak berperasaan di tengah keadaan Indonesia yang masih banyak jumlah warga miskinnya.

Kejadian ini mengingatkan saya pada peristiwa sekitar sepuluh tahun lalu. Waktu itu, saya sedang menunggu suami yang akan datang dari luar kota. Agar tidak mengantuk, saya menonton televisi. Bisa berabe kalau saat suami tiba saya ketiduran. Bukan takut kena marah, tetapi Pak Suami akan tidur di kendaraan bila tahu istrinya sudah tidur. Baginya pantang membangunkan saya.

Malam itu, acara automotifnya membahas tentang mobil para offroader. Mobil bagus-bagus dipreteli, diberi berbagai kelengkapan agar bisa digunakan di medan sulit. Bukan sembarang mobil lho. Mobil mahal dipasangi ban segede gaban lalu di pakai di jalan yang sulit. Bahkan yang dilewati bukan jalan seperti layaknya yang kita lewati.

Saudara suami ada yang pecinta otomotif. Sedikit-sedikit tahulah harga sparepart mobil. Dan yang dipakai para offroader itu harganya pasti sangat mahal. Mobil mereka bukan sembarang mobil. Diperlukan mesin yang ekstra power untuk melalui medan berat. Sayangnya, mobil jenis ini tidak ada yang murah.

Setelah mobil dimodifikasi, para offroader mencobanya di berbagai medan dengan bermacam tingkat kesulitan. Tak jarang mobil-mobil itu jungkir balik karena beratnya jalur yang dilalui. Tentu saja sangat membahayakan pengemudinya.

Saya geleng-geleng kepala menontonnya. “Kurang kerjaan”, batin saya saat itu. “Menghambur-hamburkan uang untuk hobby yang membahayakan nyawa dan tidak jelas manfaatnya.”

Saya membayangkan, andai satu saja ban mobil setinggi manusia dewasa itu dijual dan dibelikan beras, kemudian disumbangkan ke panti asuhan. Pasti bisa dimakan anak sepanti asuhan selama sebulan lebih. Lha kalau empat? Bisa dikalikan jadi berapa lama itu?

“Ya Allah, kenapa Engkau beri rizki berlebih kepada orang-orang yang hanya akan dihambur-hamburkan?” gumam saya seakan protes kepada Tuhan.

Hingga suatu saat saya menonton acara berita. Ada bencana banjir bandang yang memporak-pondakan sebuah kawasan. Banjirnya berupa lumpur dengan membawa berbagai material, seperti batu dan kayu gelondongan. Akibatnya, rumah penduduk rusak, jembatan putus, jalan tidak bisa dilalui karena penuh lumpur. Jangankan mobil, helikopter tidak bisa mendarat untuk memberi bantuan. Padahal masyarakat yang terisolasi membutuhkan bahan makanan dan berbagai kebutuhan.

Subhanallah. La haula wala quwwata illa billah. Para offroader yang pernah kubilang kurang kerjaan itu berjibaku menerobos beratnya medan yang ada sambil membawa bantuan. Mereka tidak peduli berapa harga mobil yang digunakan. Komunitas offroader itu bersama menggalang bantuan dan terjun langsung ke lapangan bertaruh nyawa.

Sementara itu, apa yang bisa saya lakukan? Saya hanya menonton. Saya menjadi malu. Yah, sangat malu pada diri sendiri. Ternyata saya hanya orang sok baik, yang hanya bisa menilai orang dari bungkusnya semata. Bagaimana bila orang-orang kaya tersebut adalah para donatur tetap panti asuhan?

Momen itu menjadi tamparan tersendiri buat saya. Jangan merasa diri lebih baik daripada orang lain, lebih berilmu, lebih religius, lebih beriman, dan sejenisnya. Kita tidak tahu amalan tersembunyi yang dilakukan orang, yang bisa jadi jauuuh lebih mulia dari amal yang telah kita perbuat.

Marhaban ya Ramadhan. Semoga diri menjadi pribadi yang selalu berkembang menjadi lebih baik dan lebih baik.



Nganjuk, 12 April 2021.

Sabtu, 19 Desember 2020

KEBAHAGIAANKU

Menemani para ASD itu menyenangkan. Apalagi saat anak yang sudah dianggap terlambat mendapatkan penanganan ternyata bisa berkembang tak terduga. 

Ada ASD sudah berusia 9 tahun saat kuhandel. Suka mengamuk, gulung, menangis teriak-teriak tiap kali yang dimaui tidak dituruti atau tidak dimengerti. Bicara terbatas, hanya mau mengucapkan satu suku kata. Setiap menginginginkan sesuatu lari tanpa mengenal bahaya. 

Dulu, pernah hampir putus asa menghadapinya. Setiap akan memulai treatment kuelus dari pundak sampai ujung tangan kanan dan kirinya sambil berdoa untuk menenangkannya. Kebetulan dia suka dielus, jadi kulakukan itu agar dia tidak ngamuk. Aku hampir tak sanggup menahannya bila dia tantrum. Tubuhnya tinggi besar dan kuat, tidak seperti anak seusianya. Makannya juga kuat dan seperti tak kenal rasa kenyang. 

ASD memang kadang tantrum, tetapi mereka tetaplah anak berhati bersih yang punya kepekaan hati. Mereka bisa merasakan ketulusan. 

Demikian juga anak yang aku tangani. Dia pun tahu aku bermaksud baik. Dia berusaha progres, dari mengucapkan satu suku kata, lalu dua suku kata. Berkembang menjadi empat suku kata. 

Setiap kali memulai belajar ada doa belajar dan membaca fatihah. Dia cuma ah-eh mendengarku melafalkannya. Belajar diakhiri dengan membaca surat-surat pendek dan Al Asr serta doa dalam Bahasa Indonesia. 

Bulan lalu tiba-tiba dia mengajak mengakhiri belajar dengan membaca surat Al Asr secara lengkap. Aku terbelalak dan bahagia. Sebagai rewardnya kuturuti permintaannya. Tak disangka waktu berikutnya dia memberi surprise dengan hafal surat Al Ihlas, lalu surat An-Naas, terakhir surat Al Falaq dan Al Fatihah meski dengan pelafalan yang belum sempurna. 

Bulan terakhir di tahun ini, dia sudah mulai bisa meminta sesuatu dengan kalimat yang bisa dimengerti. Dan satu kejutan lagi: menyanyi "Burung Kakak Tua" dengan ekspresif. Alhamdulillah, segala puji bagi-Mu, Yaa Allah.



Nganjuk, 19 Desember 2020

Minggu, 13 Desember 2020

Covid di Sekitar Kita


foto diambil dari web World Health Organization

Tahun 2020 sudah berada di penghujung. Masyarakat mulai abai dengan protokol kesehatan, mulai kumpul-kumpul lagi, sering lupa memakai masker, dan tempat cuci tangan mulai hilang dari depan rumah dan pertokoan. Bagaimana dengan hand sanitizer? Sebelas dua belas dengan tempat cuci tangan. Padahal harganya sudah terjangkau. 

Malam ini, saat takziyah di rumah tetangga, seorang teman semasa SMP mengabarkan bahwa salah satu teman kami yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan positif terinfeksi Covid-19. Waduh, kalau berita ini benar berarti aku juga harus melakukan tes. Belum lama aku dan beberapa teman takziyah bersamanya ke teman sesama alumni yang ibunya meninggal. 

Aku segera pulang dan mengirim pesan padanya apakah benar kabar yang kudengar. Ternyata benar. Dia pulang kemarin setelah 2 mingu melakukan isolasi. Cepat-cepat kucek tanggal kami takziyah bersama. Alhamdulillah, kami mengunjungi rumah duka bersama tanggal 19 November. Berarti sudah tiga minggu lebih, sudah melewati 14 hari. Kami tidak mengalami gejala apapun sebagai pertanda tertular, artinya aman. 

Untung temanku yang sempat positif sangat patuh dengan protokol kesehatan. Kami tidak melakukan kontak fisik dan menjalankan physical distancing. Seandainya kami tidak patuh, bisa saja saat itu dia sudah positif dan menulariku atau menulari teman yang lain. 

Mari terus patuhi protokol kesehatan. Terus berihtiyar mencegah penularan Covid-19 tanpa menjadi paranoid. Semoga kita selalu sehat dan terhindar dari segala penyakit. 



Nganjuk, 13 Desember 2020. 

 

  

Rabu, 09 Desember 2020

PISANG


Pagi ini, entah kenapa aku ingin sekali menengok kebunku yang kutanami pisang. Ada pisang entah apa namanya, yang berpohon pendek, namun tandan buahnya panjang. Mestinya salah satu pohon siap dipetik. 

Sesampai di kebun, alangkah terkejutnya aku. Buah pisang setandan bersisir banyak itu telah raib. Tinggal pohonnya yang masih berdiri kokoh. Sebelumnya, aku berangan-angan pasti laku mahal bila dijual. Andai ditawar murah, aku akan membagikannya untuk para tetangga dan sahabat. 

Aku memang jarang menjual pisang dan mangga hasil tanamanku. Biasanya aku bagikan. Maklumlah, kami bukan orang kaya. Ditambah kondisi pandemi seperti ini, ya begitulah kemampuanku bersedekah. 

Aku berusaha mengatasi rasa kecewaku. Kecewa karena urung mendapatkan uang untuk membeli beras atau urung melihat wajah-wajah sumringah menerima pisang pemberianku. Kupacu sepeda motorku untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari di warung sebelah desa. 

Saat berbelanja ada yang bertanya aku habis dari mana. Kuceritakan perihal pisangku yang hilang beserta lokasi kebunku. Si pemilik warung lalu menceritakan tentang putri tetanggaku dulu yang tinggal tak jauh dari kebunku. Putri tetanggaku yang dahulu terkenal cantik itu kini sakit parah akibat kanker lidah. 

Aku seakan tidak percaya. Beberapa bulan tidak keluar rumah akibat adanya pandemi sungguh membuatku kehilangan informasi tentang orang-orang dekat dan beberapa tetangga. Aku memang hampir tak pernah keluar rumah, kecuali ada urusan penting. 

Siangnya, aku kepikiran terus dengan cerita pemilik warung. Aku harus menengoknya hari ini juga. Tetapi nanti aku harus ngomong apa? Aku benar-benar bingung memilih kata-kata yang tepat untuk membuatnya bersemangat dalam menjalani hidup saat menjenguknya. Jangan sampai aku membuatnya drop karena pemilihan diksi yang tidak tepat. 

Akhirnya, aku menghubungi seorang teman penyintas kanker. Aku bertanya apa yang sebaiknya aku lakukan saat menjenguk si mantan tetangga yang menderita kanker. Ternyata sarannya disuruh diam saja. Cukup dengarkan saja yang diceritakan pasien dan keluarganya. Nanti akan mengalir sendiri tanpa aku banyak bicara. 

Sorenya, aku, suami dan ketiga anakku berangkat menjenguk. Sengaja kami datang sekeluarga karena sekalian akan mengunjungi bapak mertua. 

Sesampainya di rumah pasien, aku disambut putra sulungnya yang juga teman anak bungsuku. 

“Ibuknya Dini mau menengok ibuk? Silakan ke kamar. Ibu di kamar.” Sambutnya ramah 

Alangkah terkejut aku saat mendapati si sakit dengan kondisi yang memprihatinkan. Ya Allah, si cantik berkulit putih, tinggi tegap itu sekarang tergolek lemah. Mulutnya sulit menutup karena ada benjolan di lidahnya. Tubuhnya kurus, tinggal kulit membalut tulang. 

“Eh, Mbak Fatim.” Lalu aku tidak mengerti kata-kata yang diucapkannya karena tidak jelas akibat kondisinya. 

Aku mengelus pundaknya dan meminta maaf baru menengoknya karena baru tadi pagi tahu kalau dia sakit. Wajahnya tampak berbinar dan berusaha bercerita. Sayang aku tidak mengerti yang diucapkannya. Suaminya lalu bercerita tentang kronologi penyakit yang diderita istrinya. Setelah beberapa saat aku pamit pulang dan menyerahkan sebuah amplop. Dia menolaknya, tetapi aku tetap menaruhnya dalam genggamannya. 

Dalam perjalanan ke rumah bapak mertua, aku teringat sesuatu. Betapa malunya diriku. Malu pada Allah yang telah memberiku karunia yang besar berupa sehat tapi kecewa ketika kehilangan pisang. 



Nganjuk, 8 Desember 2020.

Jumat, 13 November 2020

Anehkah Diriku?



Tahun 2020 merupakan tahun yang sulit bagi kebanyakan orang. Adanya Pandemi Covid-19 membuat para pekerja harus Work From Home (WFH) dan pelajar musti Belajar Dari Rumah (BDR). Tentu hal ini tidak mudah. Semua harus ditata ulang agar WFH bisa berjalan lancar. Guru-guru harus membuat RPP dan metode penyesuaian karena pembelajaran dilakukan secara daring. Para siswa pun tentu tidak nyaman proses belajarnya berubah dan tidak bisa bergaul dengan teman-temannya. 

Beberapa kali kulihat keluhan orang tua yang mendampingi anaknya melakukan BDR bersliweran di beranda medsosku. Ibu-ibu yang sudah bejibun pekerjaannya harus mengajar anaknya di rumah. Kalau anaknya cuma satu mungkin tidak terlalu repot. Bagaimana bila punya tiga anak atau lebih? Tentu akan membuat pusing juga. Orang tua menjadi tidak sabaran, bahkan ada yang sampai membentak-bentak dan memukul buah hatinya karena si anak dianggap tidak patuh dan lelet ketika diajari. 

Berbanding terbalik dengan orang-orang pada umumnya, aku justru gembira dengan adanya WFH dan BDR. WFH yang membuat orang menjadi jenuh karena harus selalu berada di rumah, tapi bagiku tidak. Aku tetap bisa produktif meski berada di rumah, karena memang aku seorang ibu rumah tangga yang biasa bekerja di rumah. Demikian juga dengan BDR, banyak orang tua yang stres mendampingi anaknya BDR, begiku tidak masalah. Anak-anakku sudah besar, mereka bisa belajar mandiri. Aku tinggal mendampingi dan memberikan saran seperlunya. 

Bagaimana dengan BDR anakku? Anak-anakku enjoy melakukan BDR. Pagi hari mereka membantuku membersihkan rumah, kadang berbelanja. Mereka juga bisa mencoba resep baru, belajar melukis, membaca novel kesukaannya, karena tugas sekolah lebih fleksibel. Pagi hari terasa lebih santai tanpa terburu-buru harus mempersiapkan diri datang ke sekolah tepat waktu. Mereka juga punya waktu untuk mengasah skill hidupnya di dunia nyata. Aku memang ibu yang kejam. Anak-anak tidak kubelikan mesin cuci sehingga harus mencuci manual, he he... 

BDR juga serasa mengembalikan anakku. Saat bungsuku kelas 9, aku seperti kehilangan dia. Pukul 05.30 dia harus ikut les di sekolah untuk persiapan menghadapi Ujian Nasional. Setelah pelajaran selesai, dia masih mengikuti berbagai kegiatan, belajar membuat karya tulis ilmiah, jurnalis, dan sebagainya. Akibatnya anak berada di sekolah selama sepuluh jam, malah kadang lebih, hingga ketika pulang sudah capek dan segera tidur sehabis salat isya. 

Dengan BDR, kami bisa melakukan banyak hal bersama, memasak, menanam toga, berdiskusi materi pelajaran, membahas musik dan film Korea, dan masih banyak lagi. BDR juga membuatku lebih dekat secara emosional dengan anak-anak. Mereka jadi lebih mudah diarahkan dan lebih care dengan orang tua. Apalagi saat aku harus bedrest selama sebulan akibat kecelakaan, merekalah yang merawatku. 

Ada satu lagi hikmah pandemi Covid-19 yang aku rasakan. Aku tidak perlu ikut seminar atau pelatihan untuk menambah ilmu dan kecakapanku menangani anak berkebutuhan khusus. Banyak webinar gratis yang bisa aku ikuti baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Padahal sebelum pandemi, aku harus pergi ke kota lain dan mengeluarkan biaya pelatihan. 

Pandemi memang mendatangkan berbagai masalah. Namun, tetap ada hal-hal positif yang bisa kita ambil sebagai hikmah. Tetap semangat, tetap patuhi protokol kesehatan. Semoga pandemi ini segera berlalu. 




Nganjuk, 13 September 2020.

Kamis, 12 November 2020

DEMI ANAK


Buku antologi yang berjudul “Demi Anak” yang ditulis oleh 41 penulis yang mayoritas adalah tenaga pendidik dan psikolog ini memang recommended. Para penulis merupakan praktisi pemerhati anak yang telah berpengalaman dalam hal mendidik anak.

Anda akan terinspirasi oleh tulisan yang memotivasi, cerita yang mengharu biru, dan tip-tip dalam mendidik anak. Tulisan pertama merupakan karya Bu Astatik Bestari yang berjudul “Masa Depan Pekerjaan Diukir Sejak di Sekolah”. Beliau yang merupakan seorang guru berkisah tentang pengalaman menemukan bakat dan minat putra dan peserta didiknya, terutama yang tergabung dalam PKBM Bestari.


Sementara, tulisan saya di buku “Demi Anak” menyampaikan tentang “Kecanduan Gawai Pada Anak”. Hal ini saya anggap penting karena pada masa pandemi sekarang ini, di saat anak-anak melakukan BDR, kekuatiran terjadinya kecanduan sangat besar. Tulisan ini mengupas tentang dampak buruk penggunaan gawai/gadget yang berlebihan, tanda-tanda anak kecanduan, bagaimana menghindarinya dan apa yang harus kita lakukan sewaktu anak kita terindikasi ketergantungan gadget.

Buku ini dipungkasi dengan “Anak Santun Tak Akan Tergusur Waktu” yang ditulis oleh Bu Heni Murawi. Tulisan tersebut membahas tentang pentingnya etika di zaman milenial, cara mengajarkan etika dan bagaimana orang tua mendidik etika di era COVID. Semua pemaparan disampaikan secara runut dan mengalir. Menarik bukan?

Buku yang dieditori Pak Teguh Wahyu Utomo dibanderol 75K belum termasuk onkos kirim. Buku ini sangat layak dimiliki para pendidik dan orang tua yang peduli akan masa depan putra putrinya.



Rabu, 11 November 2020

Rumah Kosong Bag. 1

 


    Peristiwa ini terjadi awal tahun 2000, saat aku menyewa sebuah rumah tua di sebelah rumahku kini. Rumah tua itu agak jauh dari tetangga. Depan rumah, di seberang jalan raya adalah sebuah sekolah, sebelah kanan rumah kosong, belakangnya juga rumah kosong yang dipakai sebagai kandang kambing, sementara sebelah kiri kebun rimbun tak terawat. 

    Tidak seperti layaknya orang Jawa, bila pindah rumah mengadakan selamatan, waktu itu aku tidak melakukan selamatan karena rumah itu ada penghuninya. Aku cuma ngekost di bagian depan sebab kami berencana membangun rumah di desaku. 

    Awal tinggal di rumah itu, aku tidak tahu kalau si penghuni ternyata kalau malam jarang tidur di rumah tersebut. Dia lebih banyak begadang dan berjudi di tempat lain sehingga rumah selalu kosong. Pantas saja rumah kelihatan sintrum, istilah Jawa untuk tempat yang tampak angker. Tidak hanya malam hari, siang hari pun suasananya tidak jauh berbeda. Apalagi di dekat situ ada pemakaman yang terkenal wingit, kuburan Mondoroko. Menurut cerita, banyak orang yang dibelokkan ke area makam. 

    Anehnya, setiap hari banyak motor mogok atau kempis bannya di area tempat tinggal baruku. Bayangkan, sehari ada empat sampai delapan sepeda motor yang dituntun melewati depan kostku. Janggalnya lagi, tidak hanya motor lama yang macet tiba-tiba, tetapi juga motor baru yang rasanya mustahil mengalami kerusakan. 

    Pernah suatu malam, aku dan suami sedang mengobrol sambil rebahan. Tiba-tiba terdengar orang mengucapkan “kulo nuwun” dengan suara cukup keras. Suamiku langsung beranjak dari tempat tidur untuk membukakan pintu. Tetapi heran, tidak ada seorang pun di teras rumah. 

    Pekerjaan suami yang tidak terikat jam kerja membuatku sering tinggal di rumah sendiri, baik karena pulang larut atau pergi ke luar kota. Jadilah aku sendirian di rumah ditemani sulungku. Kadang ada suara-suara di rumah bagian belakang. Aku kebetulan menempati bagian depan yang notabene bangunan baru atau bangunan tambahan. 

    “Ah, itu cuma suara tikus.” Begitu kata si pemilik rumah setiap kali aku ceritakan tentang suara yang kudengar. 

    Suatu malam, aku tinggal berdua dengan si sulung ketika suami bekerja di luar kota. Saat itu aku hendak ke kamar kecil dan mengambil air wudu, tapi aku ragu. Malam sudah larut, si sulung sudah tertidur nyenyak. Aku belum salat isya karena sangat beresiko meninggalkan sulungku yang mengalami gangguan hiperaktifitas untuk salat. 

    Kembali terdengar suara-suara di belakang. Aku takut ke kamar kecil sendiri. Untuk mencapai kamar kecil yang di dalam rumah, aku harus melewati rumah utama dengan tiga kamar berjajar yang disebut sentong. Setelah itu melewati lorong gelap, yang bersebelahan dengan kamar kosong yang tampak menyeramkan. Namun aku harus salat isya. Bagaimana mungkin aku tidak menjalankan salat hanya karena takut hantu? 

    Kubaca ayat Kursi tiga kali, lalu bersalawat, berangkatlah aku ke kamar kecil dengan berjalan lurus tanpa tengak tengok. Setelah kencing dan berwudu, aku cepat-cepat kembali ke ruang depan untuk salat isya. Namun entah kenapa setelah salat, aku sulit memejamkan mata. Sejurus kemudian terdengar suara orang mandi di rumah sebelah. Syukurlah, ada teman di rumah sebelah, dan aku pun bisa tidur dengan tenang. 

    Beberapa hari kemudian aku baru sadar, rumah sebelah kosong. Lalu, siapa yang mandi tengah malam itu?

Nganjuk, 11-11-2020

Edisi cerita horor. To be continued, ya...



Kolaborasi cerita misteri :

https://dee-arnetta.blogspot.com/2020/11/jangan-bermain-denganku.html?m=1

https://dee-arnetta.blogspot.com/2020/11/mengapa-harus-aku.html?m=1

https://omahria.blogspot.com/2020/11/tabir-nuraini.html

https://biruisbluish.blogspot.com/2020/11/sampaikan-salam-sayangku-i.html

https://iimhappypills.blogspot.com/2020/11/misteri-aroma-melati.html

https://ecchan.wordpress.com/2020/11/10/horror-mencoba-eksis/

https://terpakukilaukata.blogspot.com/2020/11/kembar.html?m=1

https://anastasialovich.blogspot.com/2020/11/pathok.html?m=1

https://imelcraftdiary.blogspot.com/2020/11/cerita-horor-anak-kost.html?m=1

https://deliaswitlof.blogspot.com/2020/11/rumah-no-1.html?m=1

https://menjile.blogspot.com/2020/11/gazebo-bambu-tua.html

https://cemplungable.blogspot.com/2020/10/penghuni-yang-tak-diundang.html


PAMER

  Ada tulisan dari seorang influencer yang mengajak unsubcribe Atta Halilintar karena dianggap terlalu mengekspos kekayaannya. Hal ini dite...